Inspirasi Dari
Beragam Peristiwa Korupsi
Orang bijak berkata : ilmu pengetahuan
bagi seseorang yang tidak memiliki budi pekerti, etika atau moralitas adalah
malapetaka yang akan berwujud nyata bagi kebanyakan orang. Dan malapetaka itu
dapat berupa peristiwa korupsi yang merebak dimana-mana, bahkan sampai ke soal mendapatkan
fasilitas tanah kuburan saja, masyarakat harus dijerumuskan dalam praktek
korupsi.
Sedangkan dalam konteks pemberantasan korupsi,
kalau kita mau memeriksa kembali secara lebih cermat dan teliti dalam kapasitas
sebagai Warga Negara Indonesia (yang bukan bagian dari para koruptor), maka
kita akan mendapat suatu kesimpulan yang jernih dan sangat masuk akal : yaitu,
bahwa sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbentuk, pemberantasan
korupsi seharusnya menjadi tanggung jawab Pimpinan-Pimpinan Aparatur
Penyelenggara Negara/Pemerintahan dalam mengendalikan perilaku staf atau bawahannya
agar tidak terjerumus dalam perilaku korup yang dapat membahayakan keuangan Negara
dan dapat menghambat Pembangunan Nasional di semua sektor, terutama dalam
konteks Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia.
Oleh karena kondisi ideal seperti itu
tidak terpenuhi, meskipun sudah ada bertumpuk-tumpuk produk Undang-Undang serta
peraturan lainnya untuk menjaga dan mengawal upaya-upaya pemberantasan korupsi itu,
maka kehendak rakyat berdaulatlah (civil
society) yang bicara dan mengambil kembali kedaulatannya yang dipinjamkan
kepada Negara untuk mewujudkan terpenuhinya kondisi-kondisi ideal dalam upaya
pemberantasan korupsi. Jadi, memang tidak cukup hanya dengan membentuk
bermacam-macam institusi dan memproduksi setumpuk undang-undang sementara perilaku
korup terus merebak di kalangan aparatur penyelenggara negara yang rata-rata
berlatar belakang pendidikan Perguruan Tinggi itu.
Dan, ketika kehendak rakyat berdaulat
mengambil kembali kedaulatannya yang dipinjamkan kepada negara, apa pernah terlintas
di benak mereka tentang KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) atau
produk sampah kebijakan politik lainnya? Tentu saja tidak. Karena substansi
persoalannya adalah : bermacam-macam lembaga yang dibentuk sebagai sebuah
produk kebijakan politik bisa tidak bermakna apa-apa bagi upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia apabila lembaga itu hanya dijadikan “etalase politik”
bersifat artifisial semata. Sebab lainnya, karena sudah sangat jelas dan pasti
bahwa di Republik Indonesia ini tidak pernah ada Undang-Undang tentang
Perlindungan Bagi Aparatur Negara/Pemerintah Penyelenggara Korupsi, sedangkan
di saat yang sama Presiden bersama DPR-RI juga tidak pernah berpikir untuk
membuat Undang-Undang Tentang Perlindungan Hak-hak Warga Negara Indonesia dari
Ancaman Bahaya Salah Urus Negara.
Sekarang, setelah 8 tahun (sejak 2003) berdirinya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai sebuah perwujudan kehendak rakyat
yang berdaulat (civil society), KPK
sudah berhasil menyelamatkan keuangan negara senilai Rp 152,6 triliun. Sungguh,
ini bukan prestasi yang biasa-biasa saja karena belum pernah ada sejarah kelembagaan
Negara di Indonesia yang mampu menyelamatkan kekayaan negara hingga mencapai
angka fantastik itu dalam waktu 8 tahun, yang terjadi malah menghabiskan kekayaan
negara. Jelas ini bukan keberhasilan yang dapat dinilai sebagai suatu keajaiban
yang tiba-tiba jatuh dari langit, bukan sesuatu yang dapat dilakukan tanpa integritas,
kejujuran, kecerdasan, kecermatan, ketelitian, kehati-hatian, pengetahuan yang cukup,
dukungan pendanaan yang memadai (karena targetnya bukan maling ayam atau maling
jemuran), setumpuk perangkat kebijakan, dan keberanian, yang semuanya diformulasikan
dalam wujud kerja keras meliputi
perencanaan-perencanaan strategis, koordinasi serta kerjasama efektif dengan
bermacam lembaga Negara dan institusi-institusi pemerintahan, dan tentu saja
disertai tindakan (action) yang fokus
dan terarah, yang berorientasi pada upaya-upaya pemberantasan korupsi.
Sekali lagi, tugas KPK sesuai perintah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah untuk memberantas perilaku korup yang banyak
terjadi di kalangan aparatur penyelenggara negara yang (rata-rata) berlatar
belakang pendidikan tinggi (lulusan Perguruan Tinggi) dengan status
sosial-ekonominya yang sudah cukup baik meskipun tidak korup, dan sama sekali bukan untuk memberantas
maling ayam atau maling jemuran yang seringkali amat terpaksa melakukan tindak
pidana hanya demi sebatok beras atau sepiring nasi. Dan perlu juga diketahui, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan di Republik Indonesia ini adalah produk hukum kolonial (penjajah) Belanda yang diadopsi di ranah hukum kita.
Mengapa tidak sekalian saja setiap acara pengadilan tindak pidananya digelar
juga di Belanda? Berkaitan dengan hal itu, ketika Komisi III DPR-RI malah begitu bernafsu untuk merevisi
UU KPK, padahal KUHP masih pakai punya penjajah Belanda, apakah ini bukan suatu
tindakan kontra-produktif dalam konteks pemberantasan korupsi yang hanya akan mengundang
kemarahan jutaan Rakyat Indonesia, dan membuka kemungkinan rakyat mengambil kembali
kedaulatannya yang dipinjamkan kepada Negara?
Andai Aku menjadi
Ketua KPK
Ini sekedar berandai-andai karena saya sudah
terlanjur terinspirasi oleh beragam peristiwa korupsi terkait dengan eksistensi
KPK, meskipun saya tidak pernah berpikir sedikit pun untuk menjadi Ketua KPK. Karena
Ketua KPK itu harus benar-benar orang pilihan yang didapat dari hasil seleksi yang
super ketat, bukan asal comot dari keranjang sampah di Gedung DPR-RI. Dan saya
yakin betul bahwa saya tidak memiliki kualitas memadai untuk menjadi Ketua KPK
walaupun saya bukan berasal dari keranjang sampah Gedung DPR-RI atau keranjang
sampah Istana Negara.
Andai saya jadi Ketua KPK maka inilah
yang akan saya lakukan :
1. Sebagai
langkah awal saya akan mengadakan rapat keluarga (terutama orang tua, istri,
anak, dan mertua) dan kerabat dekat lainnya. Di dalam rapat keluarga itu saya
akan menjelaskan bahwa sekarang saya adalah Ketua KPK yang sedang mengemban
tugas negara sesuai dengan perintah UU KPK. Saya juga akan ingatkan bahwa hukum
dan keadilan tidak pernah punya saudara, tidak punya kerabat dekat, tidak punya
kawan dekat, tidak punya korp, dan lain-lain sejenisnya;
2.
Usai
menggelar rapat keluarga, saya akan memberi instruksi kepada staf KPK untuk segera
melakukan Rapat Sosialisasi dan Koordinasi Internal dengan seluruh jajaran dan
staf KPK. Di dalam rapat internal ini saya akan meminta kembali komitmen semua
staf dan seluruh jajaran di KPK agar selalu menjaga etika, perilaku, kehormatan
diri maupun lembaga dengan tidak memberi toleransi sedikit pun kepada
upaya-upaya yang mengarah pada tindak pidana korupsi;
3. Kemudian
saya akan menginventarisasi semua daftar masalah korupsi dan melaksanakan Rapat
Kerja untuk merumuskan agenda kerja 100 hari;
4. Setelah
itu, saya akan mengisntruksikan kepada staf untuk segera menyelenggarakan
konferensi pers, mengundang semua pihak media massa terkait dengan agenda kerja
100 hari. Di dalam konferensi pers itu saya juga akan menyampaikan permohonan
maaf kepada semua pihak media massa bahwa dengan pertimbangan agar tidak
terjadi hal-hal yang kontra-produktif terhadap kinerja lembaga KPK maka setiap
hal yang perlu dipublikasikan melalui media massa cuma akan disampaikan oleh
Juru Bicara KPK yang sudah ditunjuk untuk jabatan tersebut. Saya sebagai Ketua
KPK tidak perlu lagi mengeluarkan komentar-komentar atau statemen-statemen yang
dapat berpengaruh terhadap penilaian masyarakat luas terhadap kinerja lembaga
KPK;
5. Dalam
konteks hubungan antar lembaga Negara/Pemerintah, sesuai dengan perintah UU KPK,
saya bersama seluruh jajaran staf KPK akan merumuskan serangkaian kegiatan
supervisi dan koordinasi dengan setiap lembaga/institusi Negara/Pemerintah yang
memiliki potensi terjadinya tindak pidana korupsi. Dengan catatan : bahwa
setiap kegiatan supervisi atau pun koordinasi itu diorientasikan hanya untuk
lebih mengefektifkan kinerja lembaga KPK dalam upaya pemberantasan korupsi,
bukan malah membuat KPK menjadi lemah dan kehilangan orientasi;
6. Di
luar konteks hubungan antar lembaga Negara/Pemerintah, saya bersama staf KPK
lainnya, akan merumuskan model koordinasi berkesinambungan dengan pihak-pihak
sekolah dan Perguruan Tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi. Khusus dengan
pihak Perguruan Tinggi saya akan merumuskan sebuah kerangka kerjasama efektif
dengan terlebih dahulu menyiapkan kebijakan pendukungnya serta mekanisme
pelaksanaannya terkait dengan sejumlah fakta tentang alumni-alumni yang
terlibat tindak pidana korupsi;
7. Saya
akan terus menjalankan program Kampanye Antikorupsi dengan menggunakan berbagai
jenis media, jejaring sosial, atau sarana yang sudah tersedia namun tetap dengan
menciptakan atau mencari media-media dan sarana-saran lainnya yang bersifat
alternatif serta dapat diukur sisi efektifitas dan keberhasilannya dalam upaya
pemberantasan korupsi;
8. Saya
bersama staf KPK akan merumuskan langkah strategis untuk mulai melibatkan
partisipasi dan peran serta masyarakat luas dalam upaya pemberantasan korupsi dan
memperluas jangkauan pemahaman masyarakat luas terkait dengan bahaya korupsi
dan mensosialisasikan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun
2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
9.
Saya
dalam kapasitas sebagai Ketua KPK akan terus memonitor dan mengevaluasi setiap pelaksanaan agenda kegiatan
KPK secara berkala;
10. Saya
akan menyediakan auditor independen yang profesional dan terpercaya untuk melakukan
audit kelembagaan KPK secara berkala dan audit final (secara total dan menyeluruh)
saat nanti akan berakhir periode kepemimpinan saya sebagai Ketua KPK. Sistem audit
kelembagaan meliputi SDM, administrasi, manajemen kelembagaan, dan tata kelola
keuangan lembaga.
Dari kegiatan
berandai-andai ini, saya ingin berbagi pemahaman dengan lebih-kurang 200 juta Warga
Negara Indonesia bahwa korupsi adalah perbuatan melawan hukum untuk memperkaya
diri sendiri dengan mengabaikan keselamatan nasib bangsa dan negara. Perilaku
korup adalah tindakan biadab dan sangat tidak adil, dapat membahayakan keuangan
negara, dan berdampak buruk terhadap pelaksanaan agenda pembangunan nasional,
terutama dalam konteks penanggulangan masalah kemiskinan di Indonesia.
Dan jangan
lupa, keadilan itu adalah suatu kondisi dimana pelbagai aspek/dimensi kehidupan
manusia dapat terlindungi secara baik dan benar, baik dalam aspek politik,
ekonomi, sosial, budaya, hak azasi manusia, dan bebas dari perilaku korup aparatur
penyelenggara negara/pemerintahan – kecuali ada Undang-Undang tentang
Perlindungan Bagi Aparatur Negara/Pemerintah Penyelenggara Korupsi. Lagi-lagi orang bijak yang berkata : hukum dan keadilan tidak pernah punya saudara atau kerabat
dekat, dan tidak pernah mengenal pangkat atau jabatan seseorang, apalagi korp.
#SAVE KPK
Diding Ireng Chairudin